Sebut saja namanya Karta. Ia telah menikah dengan wanita
pilihannya. Wajahnya cantik. Namun sayang, hatinya tak secantik wajahnya. Karta
mulai terpengaruh dengan istrinya dan hampir selalu menurutinya. Dari sinilah
kisah tragis itu dimulai.
Selain Karta dan istrinya, di rumah itu juga tinggal ibunya.
Sebelumnya, Karta bersikap baik pada ibunya. Tapi perlahan, sang istri
men-‘cuci otak’-nya.
Suatu hari, sepulang Karta dari tempat kerja, istrinya
mengadu. “Mas, ibu itu bagaimana sih. Kerjanya cuma jalan-jalan ke rumah
tetangga. Nggak mau bantuin aku.” Karta langsung termakan kata-kata sang istri.
Dicarinya ibunya.
“Ibu, ibu sukanya ke main ke rumah tetangga ya. Nggak mau
mbantu menantu ibu.”
“Siapa yang bilang begitu. Ibu itu yang ngepel dan nyapu
rumah ini, Karta. Ibu yang mencuci. Dan makanan yang kamu makan itu, itu juga
ibu yang masak. Ibu memang ke rumah tetangga, tapi itu cuma sebentar. Untuk
istirahat. Kalau istirahat siang-siang di rumah ini, ibu bisa dimarahi
istrimu…”
Mendengar penjelasan itu, bukannya minta maaf, Karta malah
tidak mempercayainya. “Ah, ibu alasan saja.”
Hari-hari berikutnya, hubungan antara Karta dan ibunya tak
kunjung membaik. Apalagi hubungan antara ibu dengan istri Karta, semakin
memanas. Hingga suatu malam, setelah Karta sampai di rumah, sang istri
memintanya mengambil keputusan yang sangat sulit.
“Mas, aku sudah tidak betah lagi sama ibu. Aku dan ibu tidak
bisa lagi tinggal dalam satu atap. Sekarang Mas pilih, aku yang pergi atau ibu
yang keluar dari rumah ini,” kata istri Karta dengan nada tinggi. Karta
bingung. Ia tidak tega mengusir ibunya, tetapi ia juga tidak sanggup berpisah
dari istrinya.
“Kenapa seperti itu Dik. Aku sangat mencintaimu, aku tak
mungkin hidup sendiri tanpamu. Tapi ibu, ia tidak punya siapa-siapa. Kalau ia
pergi, pergi ke mana? Kasihan dia”
“Enggak Mas. Malam ini juga kamu harus putuskan. Ibu yang
pergi atau aku yang pergi.” Luluh juga hati Karta di depan istrinya. Entah
syetan apa yang merasukinya, ia pun melangkah ke kamar ibunya.
“Masya Allah, benarkah kamu mau mengusir ibu ini, Karta?”
tanya ibu setengah tak percaya saat mendengar Karta memintanya pergi dari
rumah.
“Iya, Bu. Ini demi kebaikan rumah tangga kami.”
“Kamu tega, Karta,” orang yang namanya dipanggil hanya diam,
“kalaupun kamu mengusirku, tunggulah besuk pagi. Tengah malam begini, ibu harus
ke mana?”
Karta terdiam. Ia tak menjawab. Tapi keputusannya telah
bulat.
Beberapa waktu kemudian, ibu keluar dengan tas di tangannya.
Tidak semua barangnya bisa dibawa. Ia melangkah berjalan di tengah malam,
sambil air mata terus menetes membasahi pipinya. Sebagai seorang ibu, ia
sungguh sangat kecewa. Sakit hatinya. Diusir oleh anak sendiri yang lebih
mementingkan istri tak berakhlak daripada ibunya. Dalam kondisi itu, sang ibu
pun berdoa. “Ya Allah, hatiku sakit atas perlakuan ini. Anakku sendiri
mengusirku, padahal aku yang mengandung, melahirkan, menyusui dan
membesarkannya. Ya Allah, aku tidak ridho padanya. Aku haramkan seluruh air
susu yang diminumnya sejak bayi hingga membentuknya seperti saat ini.” Doa
seorang ibu yang didurhakai, doa di tengah malam, dalam kondisi hujan
rintik-rintik, ketiga faktor mustajabnya doa itu bertemu.
Keesokan harinya, Karta merasakan seluruh tubuhnya sakit.
Kulitnya mulai gatal-gatal. Makin lama, kulitnya seperti melepuh. Hari-hari
berikutnya lepuhan itu mengeluarkan nanah dengan bau yang menyengat.
Sampai-sampai, tetangga yang menjenguknya pun tidak berani mendekat. Berbagai
upaya medis tak juga membuatnya membaik. Karta menyadari bahwa ini mungkin
karena kesalahannya mengusir ibunya sendiri di malam itu. “Tolong carikan
ibuku, aku ingin minta maaf. Sakitku ini karenanya,” pintanya pada seseorang.
“Tidak. Biar Karta merasakan sakit itu. Sakitnya hatiku
diusir lebih sakit dari apa yang dirasakan Karta,” jawab sang ibu saat ditemui
pesuruh Karta, “aku tak mau kembali ke rumah itu.”
Beberapa hari kemudian, Karta pun meninggal. Begitu busuknya
bau Karta, sampai-sampai modin setempat tidak mau memandikannya sendiri. Ia
menyewa orang untuk memandikan Karta. Waktu meninggalnya Karta hampir bersamaan
dengan meninggalnya orang lain di kampung yang sama. Sehingga tersedialah dua
galian untuk memakamkan mereka. Dan baru saja Karta dimakamkan, keributan
terjadi.
“Ini seharusnya makam untuk saudara saya, kenapa ditempati,”
kata seseorang yang terkejut melihat galian makam untuk saudaranya telah
terisi.
“Maaf pak, kami tidak tahu. Karena sudah terlanjur, sekali
lagi kami minta maaf. Mohon almarhum dimakamkan di galian satunya Pak, kan
sama-sama makamnya”
“Tidak bisa! Ini sudah kita pesan liang lahatnya dekat
dengan anggota keluarga yang meninggal sebelumnya. Kalau di sana kan jadi
terpisah. Kami tidak mau. Harus dibongkar”
Karena tidak bisa diajak kompromi, akhirnya warga pun
mengalah untuk membongkar kembali makam Karta. Anehnya, saat makamnya
dibongkar, mereka mendapati kain kafan Karta telah berubah warna; coklat
keabu-abuan. Tubuhnya juga tampak lebih tipis. Dan begitu dibuka, mereka
terkejut bukan main. Jenazah Karta berubah warna dan bentuk, seperti hangus
terbakar. Demikian dahsyatnya azab bagi anak yang durhaka kepada ibunya. Azab
pedih langsung terjadi di dunia dan lebih pedih lagi saat berada di alam
barzah. [Tim Redaksi Kisahikmah.com]
*Disarikan dari ceramah KH. Zubairi Rahman, Pengasuh Program
Keluarga Sakinah – Suara Giri FM
loading...
0 Response to "Kisah Anak Durhaka yang Langsung Diazab di Dunia"
Post a Comment